www.cuplikdata.id – Kebijakan pendidikan sering kali menjadi sumber perdebatan yang cukup panas di masyarakat. Salah satu isu terkini yang mencuat adalah gugatan delapan organisasi sekolah swasta terhadap Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait penerapan kebijakan rombongan belajar yang membatasi jumlah siswa per kelas. Dalam hal ini, kebijakan yang tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025, dikeluarkan pada 26 Juni 2025, berfokus pada upaya pencegahan anak putus sekolah melalui penambahan rombongan belajar. Namun, kebijakan ini dianggap merugikan bagi sekolah swasta yang mengalami penurunan jumlah murid.
Sekolah-sekolah swasta merasa terdesak karena sebagian besar siswa lebih memilih untuk mendaftar di sekolah negeri. Dampaknya, beberapa sekolah swasta bahkan hanya menerima dua murid untuk tahun ajaran baru 2025-2026. Ini menjadi masalah besar, mengingat sekolah swasta tidak hanya berperan dalam pendidikan, tetapi juga menjamin kelangsungan hidup para pendidik dan pegawai yang bekerja di dalamnya.
Gugatan ini diajukan oleh delapan organisasi, termasuk Forum Kepala Sekolah SMA Swasta Provinsi Jawa Barat dan beberapa badan musyawarah perguruan swasta dari berbagai kabupaten dan kota. Mereka merasa pemerintah tidak mempertimbangkan dampak kebijakan tersebut terhadap keberlangsungan sekolah swasta, yang selama ini juga berkontribusi dalam sistem pendidikan di daerah.
Pemahaman Kebijakan Rombongan Belajar yang Diterapkan
Kebijakan rombongan belajar 50 siswa per kelas diperkenalkan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mengurangi angka putus sekolah. Namun, banyak yang mempertanyakan efektivitas dan keadilan dari kebijakan ini. Apakah benar menyederhanakan jumlah siswa per kelas memberikan manfaat nyata bagi proses belajar mengajar?
Para pendukung kebijakan berargumen bahwa semakin sedikit siswa dalam satu kelas, maka tingkat perhatian guru terhadap masing-masing siswa akan lebih tinggi. Hal ini diharapkan dapat membantu siswa yang kesulitan dalam belajar. Namun, situasi ini berpotensi memperburuk kondisi bagi sekolah swasta yang bergantung pada jumlah pendaftaran siswa untuk operasional mereka.
Dalam situasi ini, banyak sekolah swasta yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan dan memotong biaya operasional. Kebijakan yang seharusnya menjadi solusi justru menimbulkan masalah baru yang lebih serius. Sekaligus menimbulkan pertanyaan besar: apakah tujuan dari kebijakan ini benar-benar terfokus pada peningkatan kualitas pendidikan, atau hanya sekadar angka statistik belaka?
Dampak Kebijakan Terhadap Sekolah Swasta
Dampak dari kebijakan rombongan belajar ini sangat terasa di kalangan sekolah swasta. Dengan terbatasnya jumlah siswa yang mendaftar, banyak sekolah yang terancam tutup. Situasi ini juga berdampak langsung pada tenaga pengajar dan staff administrasi sekolah swasta yang mencari nafkah dari sektor ini.
Beberapa sekolah melaporkan hanya mendapatkan dua siswa baru pada tahun ajaran 2025-2026. Hal ini bukan hanya memperburuk kondisi finansial sekolah, tetapi juga berpotensi mengurangi keragaman pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah swasta. Banyak orang tua yang sebelumnya memilih sekolah swasta kini lebih memilih untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah negeri, di mana mereka percaya bahwa kualitas pendidikan akan lebih terjamin.
Dalam gugatan tersebut, para pemimpin organisasi sekolah swasta mengungkapkan kekhawatiran mereka terhadap masa depan pendidikan swasta. Mereka menekankan pentingnya keberagaman dalam sistem pendidikan, di mana sekolah swasta dan negeri dapat berjalan berdampingan demi kepentingan siswa. Dengan demikian, pemerintah perlu meninjau kembali dampak dari kebijakan ini demi menciptakan keseimbangan yang sehat antara kedua jenis lembaga pendidikan.
Proses hukum yang Dimulai di Pengadilan
Pemanggilan Dedi Mulyadi sebagai tergugat dalam perkara ini menunjukkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi oleh sekolah-sekolah swasta. Humas PTUN Bandung juga memberikan penjelasan tentang kemungkinan kehadiran Biro Hukum Pemprov Jawa Barat sebagai wakil dalam persidangan. Ini menunjukkan bahwa kasus ini bukan sekadar masalah internal, melainkan juga melibatkan kebijakan pemerintah yang lebih luas.
Dengan adanya proses hukum ini, banyak yang berharap agar pemerintah dapat berpikir ulang dan mempertimbangkan masukan dari pihak yang terdampak. Diskusi yang melibatkan semua pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan akan menjadi langkah penting untuk menemukan solusi yang lebih baik dan adil bagi semua pihak.
Kehadiran delapan organisasi dalam gugatan ini menunjukkan bahwa suara sekolah swasta tidak bisa diabaikan. Mereka memiliki hak untuk bersuara dan melindungi kepentingan siswa serta tenaga pendidik yang tergantung pada keberlangsungan lembaga mereka. Proses hukum yang terjadi di PTUN Bandung ini menjadi titik penting dalam perjalanan kebijakan pendidikan di Jawa Barat.