Achmad Nur Hidayat
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Baca Juga
5 Kunci Sukses Arab Saudi dalam Pelaksanaan Ibadah Haji Tahun 2025
Pemikiran tentang biaya konsumsi rapat yang ditetapkan sebesar Rp171.000 per orang untuk pejabat negara mencuat di tengah ketidakpastian ekonomi. Hal ini menghadirkan berbagai perspektif, terutama tentang apakah langkah tersebut merupakan bentuk efisiensi atau tanda mentalitas boros dalam birokrasi.
Ketika anggaran negara semakin tertekan oleh berbagai faktor, termasuk dampak dari pandemi dan inflasi, pertanyaan ini menjadi semakin menarik. Bagaimana mungkin biaya semahal itu masih bisa dipertahankan ketika banyak rakyat yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar?
Biaya Rapat dalam Perspektif Ekonomi Sosial
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025, biaya konsumsi rapat untuk pejabat setingkat menteri dan eselon I ditetapkan dengan proporsi Rp118.000 untuk makan dan Rp53.000 untuk kudapan. Dalam konteks ekonomi negara yang masih bersusah payah, keputusan ini terlihat kurang bijaksana.
Data menunjukkan bahwa banyak keluarga di Indonesia terpaksa memilih antara kebutuhan pokok seperti beras dan biaya pendidikan anak. Di saat yang sama, seringkali kita mendengar berita tentang gizi buruk yang masih menjadi masalah di sejumlah daerah. Uang Rp171.000 mungkin terlihat seperti angka yang wajar untuk konsumsi rapat, namun jika kita berpikir tentang bagaimana angka tersebut bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi keluarga marginal, seharusnya kita mulai mempertanyakan kebijakan ini.
Pentingnya Keadilan dalam Pengeluaran Publik
Ketidakadilan dalam pengeluaran publik nampaknya menjadi tema yang berulang. Pemerintah mungkin berargumentasi bahwa angka tersebut hanyalah batas maksimal, namun dalam praktiknya, angka ini sering menjadi target, bukan hanya sekadar pedoman. Ketika sebagian masyarakat diminta untuk bersabar dan hidup hemat, menjadi tidak adil jika pejabat negara tidak merasakan dampaknya.
Analoginya jelas: jika sebuah keluarga mengalokasikan lebih banyak dana untuk kenyamanan anggotanya yang elit, sementara anggota lainnya menderita kekurangan, bagaimana keluarga tersebut bisa diharapkan untuk berfungsi dengan baik? Pada akhirnya, pelayanan publik seharusnya mencerminkan keadilan dan proporsionalitas.
Di tengah ketidakpastian ini, penting bagi para pengambil kebijakan untuk meninjau kembali standar pengeluaran mereka dan memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak hanya menguntungkan sekelompok kecil orang, tetapi juga mencerminkan kebutuhan dan realitas masyarakat yang lebih luas. Dengan memperhatikan aspek keadilan ini, diharapkan bisa tercipta kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat, bukan hanya pada segelintir elit.